kebebasan pers perlukah batasan?
Secuil opini dari manusia yang begitu cuil...
Merujuk pada judul, sebelumnya mari kita terlebih dahulu mencari tahu apa pengertian sesungguhnya mengenai "kebebasan".
Jika kita mencari dalam KBBI, kita akan menemukan kata "bebas" kemudian diakhir baru kita temukan kata "kebebasan".
bebas/be·bas/ /bébas/ 1 lepas sama sekali (tidak
terhalang, terganggu, dan sebagainya sehingga dapat bergerak, berbicara,
berbuat, dan sebagainya dengan leluasa): tiap anggota -- mengemukakan pendapat;
burung itu terbang -- di angkasa; 2 lepas dari (kewajiban, tuntutan, perasaan
takut, dan sebagainya): hari ini ia -- dari kewajiban mengajar; karena memang
tidak bersalah, ia -- dari tuntutan; 3 tidak dikenakan (pajak, hukuman, dan
sebagainya): surat dinas ini -- bea; 4 tidak terikat atau terbatas oleh aturan
dan sebagainya: obat itu dijual -- dan terdapat di setiap apotek; 5 merdeka
(tidak dijajah, diperintah, atau tidak dipengaruhi oleh negara lain atau
kekuasaan asing): sehabis Perang Dunia II banyak negara yang --; politik luar
negeri yang -- dan aktif; 6 tidak terdapat (didapati) lagi: negara kita belum
-- buta huruf; daerah ini sudah -- cacar;
kebebasan/ke·be·bas·an/ n keadaan bebas; kemerdekaan:
manusia yang tertindas harus berjuang untuk -nya;- aksi politik kemerdekaan
atau keleluasaan setiap warga negara untuk melibatkan diri dalam kegiatan
politik (tanpa adanya berbagai paksaan dari pihak masyarakat dan pemerintah); -
dasar manusia hak asasi manusia; - pers kebebasan mengeluarkan pikiran dan
pendapat melalui media massa
Saya tertarik membahas pengertian pada poin pertama.
"lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, dan sebagainya sehingga
dapat bergerak, berbicara, berbuat dan sebagainya dengan leluasa)". Dan
pada poin kebebasan pers "kebebasan mengeluarkan pikiran dan pendapat
melalui media massa".
Membahas kebebasan dalam segi kegiatan jurnalistik, kita
biasa mendengarnya dengan istilah "Kebebasan Pers". Kebebasan Pers
digadang-gadang mencuat ketika Era Reformasi, diikuti dengan lahirnya
Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengatur segala sesuatu
mengenai kegiatan Jurnalistik. Undang-undang ini lahir akibat seruan para Jurnalis yang
kemerdekaannya direngut di Era Orde Baru dimana setiap kegiatan jurnalistik
diatur oleh peran pemerintah. Pendeknya, pers disetir oleh pemerintah ketika
ingin atau tidak dalam memberitakan sesuatu. Era Reformasi benar-benar merubah kegiatan jurnalistik yang dahulu dikekang sampai akhirnya kemerdekaan pers benar-benar dirasakan bahkan menjadi Ruh bagi rekan-rekan jurnalis dalam melakukan kegiatan jurnalistik.
Kenyataan ini sejalan dengan pengertian kata "bebas" dan "kebebasan pers" dalam KBBI. Media massa kita, melakukan peran dan tugasnya dalam kegiatan jurnalistik dengan lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, dan sebagainya sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat dan sebagainya dengan leluasa) dan mengeluarkan pikiran dan pendapat melalui media massa.
(Ilustrasi (David Prasetyo/Jawa Pos)
Jika dibandingkan dengan keadaan sebelum lahirnya UU Pers, tentu keadaan pers kita saat ini bisa dikatakan jauh lebih bebas dan maju. Hal ini makin dikuatkan dengan diaturnya pasal 28F dalam UUD '45 hasil amandemen kedua, pasal ini mengatur mengenai hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, dst...
media massa dapat dengan bebas memberitakan sesuatu tanpa intervensi dari pejabat publik, dengan begini seharusnya fungsi pers sebagai fungsi kontrol pemerintahan dapat berjalan maksimal guna kepentingan masyarakat luas.
Namun, mungkinkah pers kita benar-benar bebas dan merdeka? Atau kita sedang menciderai kebebasan tersebut?
Sebagai seorang yang sering kali mendengar begitu banyak keluahan dari masyarakat terhadap pemberitaan atau hasil karya jurnalistik, saya cendurung jadi merasa ironi dengan keadaan pers saat ini. Sepertinya, media massa tidak memiliki 'alat penyaring' ketika mendapat sebuah informasi. Padahal, seorang jurnalis harus memiliki sikap skeptis. Maksud dari skeptis ini adalah ke(ragu)an akan sebuah informasi. Keraguan ini guna memperdalam benar tidaknya sebuah informasi yang didapat jurnalis.
Tak jarang kami dapatkan alasan media massa, bahwa tuntutan kecepatan memberikan informasi melalui media elektronik-lah yang pada akhirnya membuat jurnalis merasa sikap skeptis yang diikuti dengan menguji atau memverifikasi sebuah informasi pada akhirnya dikesampingkan.
Meskipun kelalaian tidak menguji atau memverifikasi tidak hanya dilakukan oleh media elektronik. Setidaknya, alasan kecepatan memberikan informasi selalu menjadi tameng...
Apakah media massa atau jurnalis saat ini benar-benar merasa 'itulah yang dimaksud dari kebebasan pers?'
Insan pers harus merasa perlu memiliki sikap skeptis guna menghindari penerbitan informasi yang belum dicek kebenarannya. Karena, tidak cukup hanya menerbitkan informasi yang menarik. Informasi itu harus dilihat juga untuk kepentingan publik.
Seharusnya, jurnalis dapat melihat bahwa UU Pers bukan hanya sebagai acuan untuk menjalankan pers yang 'bebas', namun juga sebagai batasan bahwa pers harus melakukan tugasnya dengan penuh tanggung jawab. Insan pers tidak boleh lupa pada Kode Etik Jurnalistik sebagai pedoman jurnalis untuk melakukan kegiatannya. Dengan sikap skeptis diiringi taat pada KEJ, saya yakini pers dapat dengan maksimal melakukan tugas dan fungsinya dengan penuh tanggung jawab. Pers harus bekerja berdasarkan kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan.
Hemat saya, kebebasan pers yang sesungguhnya adalah kebebasan yang dibatasi oleh KEJ dan UU Pers itu sendiri.
Saya percaya, masyarakat yang menilai pers Indonesia saat ini tidak lagi bisa dipercaya dapat berangsur-angsur menurun dan kembali percaya jika kualitas jurnalis kita senantiasa didorong oleh sikap yang selalu mau menguji benar/tidaknya suatu informasi.
tulisan ini hanyalah keluhan dari kaum yang tidak pernah terjun ke dalam kegiatan jurnalistik namun senantiasa bersinggungan dengannya...
WOW, tulisan dari sahabat manusia cuilku*_* Great!
ReplyDelete